Kesenian
Tradisional Gemyung dari Sumedang
diantara Gerusan Modernisasi
Ai Rosliyani
Mahasiswi UPI Kampus Sumedang
Gemyung merupakan kesenian yang digunakan sebagai
media penyebaran agama Islam
di Tanah Jawa. Berdasarkan istilah kata, “Gembyung”
diambil dari dua buah kata, yaitu “Ngagem
yang Maha Agung”, sedangkan sedangkan pengertian Gemyung sendiri adalah ensambel
musik yang terdiri dari beberapa alat tabuh yang terbuat dari kayu bundar dan
ditutup sebelah mukanya oleh kulit sapi atau kerbau. Dalam perkembangannya Gembyung tidak hanya
sebagai seni auditif, tapi sudah menjadi seni pertunjukkan yang
melibatkan unsur seni lain seperti seni
tari, maka Gemyung menjadi waditra yang berfungsi sebagai gending
pengiring tari dalam pelaksanaan suatu upacara ritual. Masuknya kesenian
Gemyung ke Tanah Jawa khususnya Jawa Barat dibawa oleh Prabu Siliwangi. Kesenian
Gemyung sendiri merupakan kesenian peninggalan para wali di Cirebon yang digunakan untuk menyebarkan
agama Islam, merupakan pengembangan dari
kesenian Terbang yang
hidup di lingkungan pesantren, biasanya
dipertunjukan
dalam acara-acara Islam seperti peringatan Maulid
Nabi, Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro. Selanjutnya Gemyung masuk ke daerah Sumedang, sekitar tahun
1430 M, oleh Eyang Suci sebagai tokoh penyebaran agama Islam yang media
pengembangannya memakai waditra Gemyung.
Dalam
kehidupan masyarakat tradisional yang masih terikat dengan adat istiadat, Gemyung
biasanya dipertunjukkan dalam upacara Ruwatan Kampung, Guar Bumi, Mapag Sri dan
upacara-upacara ritual tradisional lainnya, tempatnya pun selain di perkampungan
itu sendiri biasanya di kuburan, sawah, bendungan dan selokan yang baru
dibangun. Lagu-lagu dalam Kesenian Gemyung diantaranya, Salu-salu, Kikis Kelir, Mempeung Hurip dan lain- lain. Lirik lagu-lagu
tersebut bernafaskan Islam, karena memang dimaksudkan untuk penyebaran Agama
Islam.
Salah
satu syarat upacara ritual ketika pelaksanaan gembyung harus disediakannya
sesaji yang memiliki makna sosial, spiritual dan lain sebagainya. Misalnya saja
sesaji dalam upacara ritual ruwatan kampung, yaitu Kain putih 2 meter, Kanteh
ereulan, Samak dan bantal baru, Golok dan pisau baru, Air dari tujuh muara
mata air, Air beras putih, beras merah, dan beras hitam, Air dalam kawali
dilengkapi dengan bunga tujuh rupa, Congcot atau tumpeng kecil tujuh
rupa, Bubur tujuh rupa dan rujak tujuh rupa, Keupat leupet tangtang angin tujuh
buah, dan cara merah-cara putih tujuh rupa, Pangradinan, Kelapa dan buah
pisang tujuh macam, Bumbu masak selengkapnya, Tanah yang diambil dari 4 sudut batas kampong, Kendi kosong
dimasuki daun pisang dan ditutupi telur ayam mentah, Tebu dua pohon, Padi dua ikat, Ayam hidup sebagai panghurip,
Bambu haur kuning, Jawer kotok, handarusa,
jukut palias, kikandel, labuh besar, mayang jambe, mayang kelapa, kelewih dan
alat-alat tani, Tangkai hanjuang wulung berdaun tujuh. Dari persyaratan serba
tujuh tersebut, memiliki makna kearifan lokal yang bisa diambil adalah manusia
hidup dalam satu minggu itu tujuh hari.
Ritual
kesenian Gemyung diidentikan dengan pemanggilan arwah-arwah di sekitar tempat
pertunjukkannya, arwah-arwah tersebut merasuki tubuh para penari, namun tidak
hanya penari yang bisa kerasukan orang-orang yang menonton pertunjukkan
tersebut pun bisa ikut kerasukan dan ikut menari dalam keadaan kerasukan. Salah
satu daerah lingkungan Seni Gemyung yang masih ada di Sumedang adalah daerah
Kecamatan Buahdua, disana terdapat Grup Seni Gemyung Pusaka Mekar yang dipimpin
oleh Bapak Adang Cengos, Grup Pusaka Mekar ini bertempat di Dsn. Buganggeureung
Ds. Sekarwangi Buahdua- Sumedang. Beliau memimpin Grup Gemyung Pusaka Mekar
sejak tahun 2001 dan sekaligus menjadi penggagas bangkitnya grup ini setelah
sempat berhenti pada tahun 1993 karena tidak ada penerus.
Seiring
dengan perubahan zaman,arus modernisasi, Gemyung saat ini kurang diminati
terutama oleh remaja masa kini, selain dikarenakan jarangnya diadakan upacara
ritual di kampung mereka. Untuk perayaan Islam pun jarang ada yang mengundang
Kesenian Gemyung, tentunya sangat berbeda dengan zaman dulu.
Karena
perubahan zaman serta kurangnya minat masyarakat terhadap Kesenian Gemyung,
maka Bapak Adang Cengos melakukan alih fungsi Kesenian Gemyung tidak hanya
sebagai media untuk acara kegiatan Islam dan upacara ritual saja, tapi sekarang
Grup Pusaka Mekar pun melakukan pertunjukkan di acara hajatan seperti
pernikahan dan khitanan. Meskipun tampil di acara hajatan tapi persyaratan
sesaji masih tetap ada, hanya saja tidak sebanyak dan serumit di acara upacara
ritual tradisional.
Dikarenakan
acara hajatan banyak permintaan lagu dangdut, calung, maka agar bisa
menyesuaikan dengan acara didatangkanlah sinden sehingga gembyung tradisional
berkolaborasi dengan Sinden menjadi
BangNen (Terbang dan Sinden). Karena beralih fungsi menjadi sarana hiburan,
maka Grup Pusaka Mekar menyajikan lagu-lagu yang sebenarnya kurang pas untuk
Kesenian Gemyung yang tradisional, namun itu terjadi karena adanya permintaan
dari penonton, selain itu agar dapat menarik minat masyarakat terhadap kesenian
tradisional Gemyung. Meskipun ada lagu-lagu zaman sekarang, tapi tetap
lagu-lagu buhun atau khas Gemyung wajib ada khususnya untuk pemanggilan arwah,
lagu zaman sekarang hanya dijadikan sebagai selingan hiburan saja. Meskipun
terjadi peralihan fungsi sebagai sarana hiburan karena kesenian tradisional
dijadikan komersialisasi oleh masyarakat, tapi tidak mengurangi kesakralan
Kesenian Gemyung di dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Serta tidak semua
Grup Kesenian Gemyung beralih fungsi sebagai sarana hiburan, masih banyak Grup
Kesenian Gemyung yang memegang erat tradisi ritual Seni Gemyung dari leluhur.
Semoga dengan berjalannya waktu kesenian gembyung yang merupakan ciri budaya
Sumedang tetap bisa bertahan.
Penulis:
Mahasiswa Semester 5
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang