Minggu, 21 Desember 2014

kesenian gemyung



Kesenian Tradisional Gemyung dari Sumedang
 diantara Gerusan Modernisasi

Ai Rosliyani
Mahasiswi UPI Kampus Sumedang
Gemyung merupakan kesenian yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Berdasarkan istilah kata, “Gembyung” diambil dari dua buah kata, yaitu “Ngagem yang Maha Agung”, sedangkan sedangkan pengertian Gemyung sendiri adalah ensambel musik yang terdiri dari beberapa alat tabuh yang terbuat dari kayu bundar dan ditutup sebelah mukanya oleh kulit sapi atau kerbau. Dalam perkembangannya Gembyung tidak hanya sebagai seni auditif, tapi sudah menjadi seni pertunjukkan yang melibatkan unsur seni lain seperti seni tari, maka Gemyung menjadi waditra yang berfungsi sebagai gending pengiring tari dalam pelaksanaan suatu upacara ritual. Masuknya kesenian Gemyung ke Tanah Jawa khususnya Jawa Barat dibawa oleh Prabu Siliwangi. Kesenian Gemyung sendiri merupakan kesenian peninggalan para wali di Cirebon yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam, merupakan pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di lingkungan pesantren, biasanya dipertunjukan dalam acara-acara Islam seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro. Selanjutnya Gemyung masuk ke daerah Sumedang, sekitar tahun 1430 M, oleh Eyang Suci sebagai tokoh penyebaran agama Islam yang media pengembangannya memakai waditra Gemyung.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional yang masih terikat dengan adat istiadat, Gemyung biasanya dipertunjukkan dalam upacara Ruwatan Kampung, Guar Bumi, Mapag Sri dan upacara-upacara ritual tradisional lainnya, tempatnya pun selain di perkampungan itu sendiri biasanya di kuburan, sawah, bendungan dan selokan yang baru dibangun. Lagu-lagu dalam Kesenian Gemyung diantaranya, Salu-salu, Kikis Kelir, Mempeung Hurip dan lain- lain. Lirik lagu-lagu tersebut bernafaskan Islam, karena memang dimaksudkan untuk penyebaran Agama Islam.
Salah satu syarat upacara ritual ketika pelaksanaan gembyung harus disediakannya sesaji yang memiliki makna sosial, spiritual dan lain sebagainya. Misalnya saja sesaji dalam upacara ritual ruwatan kampung, yaitu Kain putih 2 meter, Kanteh ereulan, Samak dan bantal baru, Golok dan pisau baru, Air dari tujuh muara mata air, Air beras putih, beras merah, dan beras hitam, Air dalam kawali dilengkapi dengan bunga tujuh rupa, Congcot atau tumpeng kecil tujuh rupa, Bubur tujuh rupa dan rujak tujuh rupa, Keupat leupet tangtang angin tujuh buah, dan cara merah-cara putih tujuh rupa, Pangradinan, Kelapa dan buah pisang tujuh macam, Bumbu masak selengkapnya, Tanah yang diambil dari 4 sudut batas kampong, Kendi kosong dimasuki daun pisang dan ditutupi telur ayam mentah, Tebu dua pohon, Padi dua ikat, Ayam hidup sebagai panghurip, Bambu haur kuning, Jawer kotok, handarusa, jukut palias, kikandel, labuh besar, mayang jambe, mayang kelapa, kelewih dan alat-alat tani, Tangkai hanjuang wulung berdaun tujuh. Dari persyaratan serba tujuh tersebut, memiliki makna kearifan lokal yang bisa diambil adalah manusia hidup dalam satu minggu itu tujuh hari.
Ritual kesenian Gemyung diidentikan dengan pemanggilan arwah-arwah di sekitar tempat pertunjukkannya, arwah-arwah tersebut merasuki tubuh para penari, namun tidak hanya penari yang bisa kerasukan orang-orang yang menonton pertunjukkan tersebut pun bisa ikut kerasukan dan ikut menari dalam keadaan kerasukan. Salah satu daerah lingkungan Seni Gemyung yang masih ada di Sumedang adalah daerah Kecamatan Buahdua, disana terdapat Grup Seni Gemyung Pusaka Mekar yang dipimpin oleh Bapak Adang Cengos, Grup Pusaka Mekar ini bertempat di Dsn. Buganggeureung Ds. Sekarwangi Buahdua- Sumedang. Beliau memimpin Grup Gemyung Pusaka Mekar sejak tahun 2001 dan sekaligus menjadi penggagas bangkitnya grup ini setelah sempat berhenti pada tahun 1993 karena tidak ada penerus.
Seiring dengan perubahan zaman,arus modernisasi, Gemyung saat ini kurang diminati terutama oleh remaja masa kini, selain dikarenakan jarangnya diadakan upacara ritual di kampung mereka. Untuk perayaan Islam pun jarang ada yang mengundang Kesenian Gemyung, tentunya sangat berbeda dengan zaman dulu.
Karena perubahan zaman serta kurangnya minat masyarakat terhadap Kesenian Gemyung, maka Bapak Adang Cengos melakukan alih fungsi Kesenian Gemyung tidak hanya sebagai media untuk acara kegiatan Islam dan upacara ritual saja, tapi sekarang Grup Pusaka Mekar pun melakukan pertunjukkan di acara hajatan seperti pernikahan dan khitanan. Meskipun tampil di acara hajatan tapi persyaratan sesaji masih tetap ada, hanya saja tidak sebanyak dan serumit di acara upacara ritual tradisional.
Dikarenakan acara hajatan banyak permintaan lagu dangdut, calung, maka agar bisa menyesuaikan dengan acara didatangkanlah sinden sehingga gembyung tradisional berkolaborasi dengan  Sinden menjadi BangNen (Terbang dan Sinden). Karena beralih fungsi menjadi sarana hiburan, maka Grup Pusaka Mekar menyajikan lagu-lagu yang sebenarnya kurang pas untuk Kesenian Gemyung yang tradisional, namun itu terjadi karena adanya permintaan dari penonton, selain itu agar dapat menarik minat masyarakat terhadap kesenian tradisional Gemyung. Meskipun ada lagu-lagu zaman sekarang, tapi tetap lagu-lagu buhun atau khas Gemyung wajib ada khususnya untuk pemanggilan arwah, lagu zaman sekarang hanya dijadikan sebagai selingan hiburan saja. Meskipun terjadi peralihan fungsi sebagai sarana hiburan karena kesenian tradisional dijadikan komersialisasi oleh masyarakat, tapi tidak mengurangi kesakralan Kesenian Gemyung di dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Serta tidak semua Grup Kesenian Gemyung beralih fungsi sebagai sarana hiburan, masih banyak Grup Kesenian Gemyung yang memegang erat tradisi ritual Seni Gemyung dari leluhur. Semoga dengan berjalannya waktu kesenian gembyung yang merupakan ciri budaya Sumedang tetap bisa bertahan.

                                                                        Penulis: Mahasiswa Semester 5
                               Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang

1 komentar:

  1. Nuhun Neng inpona. Seueur mangpaatna kanggo sumber bacaan....

    BalasHapus